Ketika Pancasila Tak Lagi 'Sakti'

|
PADA 1 Juni lalu, bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Kelahiran Pancasila. Sebagai dasar negara dan ideologi bangsa, Pancasila akhir-akhir ini dikhawatirkan banyak kalangan telah kehilangan roh-nya. Maklum saja, di saat negara semakin dewasa usianya, berbagai gejolak malah bermunculan. 


Bahkan yang paling membuat miris adalah ada upaya-upaya pihak tertentu untuk memecah belah bangsa yang telah disepakati bentuknya sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. 


Ciri dari kondisi ini, antara lain mulai maraknya sentimen suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), munculnya kelompok terorisme dengan ideologi yang ingin dipaksakannya, serta yang akhir-akhir ini kembali marak diperbincangkan adalah gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Tidak hanya itu, seiring otonomi daerah (Otda), penguatan ego sektoral juga semakin tampak. 


Banyak daerah yang kini menuntut pembagian kewenangan yang lebih besar, tuntutan bisa mengelola sendiri sumberdaya alam (SDA) yang ada di wilayahnya, serta hadirnya sejumlah peraturan daerah (Perda) yang ternyata bertentangan dengan prinsip-prinsip negara kesatuan. 


Protes, bahkan tindak anarkis akibat munculnya penguatan ego daerah ini pun tak jarang meletup. Dalam konteks itulah Pancasila sebagai dasar negara akhir-akhir ini kerap dipersalahkan. Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika-nya itu dianggap tak mampu menjawab tantangan zaman. Keberadaannya dianggap hanya sebagai simbol, tapi tidak mampu memberi jawaban nyata terhadap perubahan gerak kehidupan bangsa yang kini terjadi. 


Malah ada yang ekstrim mengatakan bahwa Pancasila telah usang, dan harus diperbarui, bahkan diganti dengan ideologi lain. Krisis Pancasila ini, menurut sejumlah pakar tak lepas dari andil pemerintahan orde baru (Orba). Pasalnya, kala itu Pancasila diterapkan dengan tangan besi, dan diajarkan kepada anak bangsa hanya sebagai ‘kewajiban’ yang semu. 


Roh Pancasila, yaitu prinsip kebersamaan, saling menghargai, mengedepankan keadilan sosial dibandingkan kekuatan modal, dan yang paling penting dan utama Iman dan Takwa (Sradha dan Bhakti), tidak dijadikan prinsip hidup yang nyata. Namun hanya digaungkan di permukaan, tapi saat implementasi para pengelola negeri ini tak konsisten. Apa yang dipikirkan dan diucapkan, tidak sesuai dengan apa yang dilakukannya. Atau dalam konsep Agama Hindu Manacika (pikir), Wacika (perkataan), dan Kayika (perbuatan) tidak tali temali alias tidak nyambung. Di satu sisi Pancasila didengungkan di mana-mana sebagai ideologi bangsa, tapi di sisi lain pembangunan ekonomi tidak berpihak pada rakyat. 

Di satu sisi persatuan nasional didengungkan, tapi di sisi lain daerah dikebiri. Kekayaannya dikuras, dibawa ke pusat, dan hasilnya sangat kecil dikucurkan ke daerah. 

Parahnya lagi, pembangunan telah menciptakan sikap hidup yang korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tidak hanya di era Orba, hingga sekarang pun pengelolaan negeri ini masih amburadul. 

Rakyat pun kini mengalami ‘krisis Pancasila’ sebagai ulah pengelola negara. Untuk itu, jika ingin membuat ‘sakti’ kembali Pancasila sebagai ideologi negara, maka seluruh komponen bangsa ini harus melakukan perubahan besar-besaran terhadap perilaku hidup berbangsa. Hukum harus benar-benar ditegakkan di negeri ini, KKN yang menggerogoti perekonomian bangsa harus dikikis, daerah harus merasakan denyut pembangunan, konsep pendidikan harus memperhatikan sisi humanis dari kehidupan ini, dan banyak lagi yang harus dilakukan perubahan. 

Konsep Pancasila yang mengedepankan hidup bersama dalam kebhinekaan (keberagaman) juga harus terus dipupuk. Seluruh komponen bangsa tidak boleh saling ‘mendustai’ dan tak boleh menciptakan tirani bagi pihak lain, baik minoritas maupun mayoritas. Tanpa itu semua, tak ada gunanya seminar, lokakarya, simposium, mata kuliah/bidang studi, dan ritual-ritual peringatan lainnya untuk Pancasila. ‘Sakti’-nya Pancasila hanya akan muncul kembali, saat konsepnya diimplementasikan secara nyata. Bukan dengan teori-teori saja. (Tulisan ini dimuat di Harian Umum NusaBali, Senin 6 Juni 2011)

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan comment Anda...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Popular Posts